Beranda | Artikel
Penjelasan Hadis Arbain An-Nawawiyah (Bag. 3): Hadis 2, Iman, Islam, dan Ihsan
9 jam lalu

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ أَيْضًا قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللّٰهِ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِى عَنِ الإِسْلاَمِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللّٰهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللّٰهِ وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِىَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلاً. قَالَ صَدَقْتَ. قَالَ فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِيمَانِ. قَالَ « أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ ». قَالَ صَدَقْتَ. قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ « أَنْ تَعْبُدَ اللّٰهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ ». قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ السَّاعَةِ. قَالَ « مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ ». قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنْ أَمَارَتِهَا. قَالَ « أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِى الْبُنْيَانِ ». قَالَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا ثُمَّ قَالَ لِى « يَا عُمَرُ أَتَدْرِى مَنِ السَّائِلُ ». قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ

Dari Umar radhiyallahu ‘anhu juga, ia berkata,

Suatu hari, ketika kami sedang duduk di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki kepada kami. Pakaiannya sangat putih, rambutnya sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bepergian, dan tidak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya.

Laki-laki itu kemudian duduk di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mendekatkan lututnya ke lutut Nabi, dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas pahanya, lalu ia berkata, “Wahai Muhammad, beritahulah aku tentang Islam.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan menunaikan haji ke Baitullah jika engkau mampu menempuh perjalanannya.”

Laki-laki itu berkata, “Engkau benar.”

Umar berkata, “Kami pun heran, ia yang bertanya namun ia pula yang membenarkan.”

Lalu laki-laki itu berkata, “Beritahulah aku tentang iman.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir, baik dan buruknya.”

Laki-laki itu berkata, “Engkau benar.”

Kemudian ia bertanya lagi, “Beritahulah aku tentang ihsan.”

Rasulullah ﷺ menjawab, “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”

Laki-laki itu bertanya lagi, “Beritahulah aku tentang kapan terjadinya kiamat.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Orang yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.”

Lalu ia bertanya lagi, “Beritahulah aku tentang tanda-tandanya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang budak wanita melahirkan tuannya, dan jika engkau melihat orang-orang miskin yang tak beralas kaki, tak berpakaian, dan penggembala kambing berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan tinggi.”

Lalu laki-laki itu pun pergi. Aku (Umar) pun diam cukup lama. Kemudian Nabi ﷺ bersabda kepadaku, “Wahai Umar, tahukah engkau siapa yang tadi bertanya itu?”

Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

Beliau bersabda, “Dia adalah Jibril, datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” [1]

Penjelasan

An-Nawawi rahimahullah memulai dengan hadis pertama dari Shahih Bukhari (Innamal a’malu binniyyat) dan menjadikan hadis Jibril ini (yang merupakan hadis pertama dalam Shahih Muslim) sebagai hadis kedua dalam al-Arba’in an-Nawawiyyah. Telah disebutkan dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu makna yang serupa dengan hadis ini. Namun, penulis memilih hadis Umar karena ia adalah hadis pertama dalam Shahih Muslim, dan di dalamnya terdapat makna-makna yang tidak terdapat dalam hadis Abu Hurairah. Dan karena Umar radhiyallahu ‘anhu adalah saksi dan hadir langsung terhadap peristiwa tersebut, tidak seperti Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang tidak menyebutkan bahwa ia hadir secara langsung. [2]

Hadis ini adalah hadis yang sangat agung, mencakup penjelasan tentang seluruh agama. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada akhir hadis ini, “Sesungguhnya Jibril datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” Setelah menjelaskan tingkatan Islam, iman, dan ihsan, maka keseluruhan itu dijadikan sebagai definisi agama kita. [3]

Al Qadhi Iyadh rahimahullah berkata,

اشتغل هذا الحديث على جميع وظائف العبادات الظاهرة و الباطنة من عقود الإيمان ابتداء و حالا و من أعمال الجوارح، و من إخلاص السرائر و التحافظ من آفات الأعمال، حتى إن علوم الشريعة كلها راجعة إليه و متشعبة منه

“Hadis ini mencakup seluruh aspek ibadah, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, mulai dari akidah keimanan — baik pada awalnya maupun dalam keadaan berlangsung — hingga amal perbuatan anggota badan, juga mencakup keikhlasan dalam batin serta penjagaan dari penyakit-penyakit amal. Bahkan seluruh ilmu syariat kembali padanya dan bercabang darinya.” [4]

Faidah hadis

Ketawadukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Bahwa beliau duduk bersama para sahabatnya dan mereka duduk bersama beliau. Beliau tidak menyendiri di atas mereka dan merasa di atas para sahabat. Ketahuilah bahwa setiap kali engkau merendahkan diri karena Allah, maka dengan itu engkau akan semakin tinggi derajatnya. Karena barang siapa merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya. [5]

Malaikat bisa berubah wujud menjadi manusia

Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwasannya malaikat bisa berubah wujud menjadi manusia. Sebagaimana malaikat Jibril berubah menjadi seorang laki-laki di kisah dalam hadis ini.

Adab ketika menuntut ilmu

Salah satu adab yang dicontohkan langsung oleh malaikat Jibril ‘alaihissalam dalam hadits tersebut adalah memperindah pakaian dan penampilan dan menjaga kebersihan ketika hendak menuntut ilmu dan bertemu dengan guru. [6]

Malaikat Jibril ‘alaihissalam juga mencontohkan cara duduk ketika hendak mengajarkan ilmu atau menuntut ilmu. Cara duduk seperti itu adalah cara duduk orang yang mendengarkan dengan penuh perhatian, yang memusatkan pikirannya untuk mengambil manfaat. Dari sini dapat diambil pelajaran: bahwa seorang penuntut ilmu yang ingin mengambil manfaat duduk bersama gurunya dengan cara duduk seperti ini, karena lebih beradab, menguatkan konsentrasi dan lebih banyak mendapatkan ilmu. [7]

Salah satu adab dalam menuntut ilmu juga adalah tidak mengatakan sesuatu ilmu yang ia tidak ketahui, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Dan bagi penuntut ilmu untuk bersungguh-sungguh dalam menanyakan hal-hal yang ia tidak ketahui kepada orang yang berilmu.

Islam, iman, dan ihsan

Dalam hadis ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan tentang rukun Islam, di antaranya:

  1. Syahadat;
  2. Salat;
  3. Zakat;
  4. Puasa Ramadan
  5. Haji ke Baitullah.

Penjelasan tentang rukun Islam insyaaAllah akan di bahas di artikel penjelasan hadis ketiga dari Arba’in An Nawawiyah.

Dalam hadis ini pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan tentang rukun iman, yaitu:

Iman kepada Allah ‘Azza wa Jalla

Iman kepada Alla ‘Azza wa Jalla adalah meyakini dengan sepenuh hati dan kepercayaan yang teguh akan keberadaan Allah Ta‘ala, serta terhadap segala sesuatu yang wajib bagi-Nya, Subhanahu wa Ta‘ala. Iman kepada Allah Ta‘ala terwujud melalui beberapa hal:

Pertama: Beriman bahwa Allah Ta‘ala Maha Esa dalam mencipta, memiliki, dan mengatur seluruh urusan secara mutlak. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal itu; tidak ada yang turut mengatur bersama-Nya, tidak ada yang dapat menolak keputusan-Nya, dan tidak ada yang dapat menghalangi ketetapan-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Sesungguhnya Tuhan kalian adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia tinggi di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (Dia ciptakan) matahari, bulan, dan bintang-bintang, semuanya tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, hanya milik-Nya-lah penciptaan dan urusan (segala sesuatu). Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-A‘raf: 54)

Kedua: Menetapkan apa yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam Kitab-Nya (Al-Qur’an), dan dalam hadis yang sahih dari Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, berupa nama-nama Allah yang indah (al-asma’ al-ḥusna) dan sifat-sifat-Nya yang luhur (ash-shifat al-‘ula), dengan cara yang layak bagi keagungan dan kebesaran-Nya, tanpa tahrif (mengubah makna), tanpa ta‘thil (menolak atau meniadakan), tanpa takyif (menanyakan bagaimana caranya), dan tanpa tamtsil (menyerupakan dengan makhluk). Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,

فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“(Dialah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kalian pasangan-pasangan dari jenis kalian sendiri, dan dari hewan ternak juga pasangan-pasangan; dengan cara itu Dia mengembangbiakkan kalian. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)

Maka kewajiban kita terhadap nash-nash tentang nama dan sifat Allah adalah sebagai berikut:

1) Menerima lafaz-lafaznya, beriman kepadanya, menerima dengan penuh ketundukan, serta meyakini makna dan hukum yang dikandungnya.

2) Memahami teks-teks tersebut sesuai dengan makna lahiriah dan hakikatnya, bukan dengan makna yang menyimpang atau ditakwilkan tanpa dasar.

3) Menyucikan Allah Ta‘ala dari segala bentuk penyerupaan dengan makhluk, serta menafikan dari-Nya segala sifat kekurangan, aib, dan cela, dan berlepas diri dari dua golongan yang sesat:

a) Golongan mu‘aththilah, yaitu yang menolak atau meniadakan sifat Allah.

b) Golongan mumatsilah, yaitu yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk.

4) Memuji Allah Ta‘ala dan berdoa kepada-Nya dengan menggunakan nama-nama-Nya yang sesuai dengan keadaan yang dihadapi.

Ketiga: Meyakini bahwa Allah Ta‘ala adalah satu-satunya Tuhan yang benar, yang berhak disembah, tiada sekutu bagi-Nya. Maka tidak sepantasnya ibadah dipersembahkan kepada selain-Nya, dan tidak ada seorang pun yang berhak menerima ibadah kecuali Dia semata.

Kita wajib mengikhlaskan seluruh bentuk ketaatan hanya kepada Allah, dengan cara yang telah Dia syariatkan, serta menaati dan mengikuti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal tersebut. Dan wajib pula meninggalkan segala bentuk kesyirikan dan bid‘ah dalam beribadah. [8]

Iman kepada malaikat

Iman kepada malaikat adalah meyakini keberadaan mereka dengan keyakinan yang pasti, tanpa ada keraguan sedikit pun. Allah Ta‘ala berfirman,

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ

“Rasul telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 285)

Barang siapa mengingkari keberadaan malaikat, maka ia telah kafir, sebagaimana firman Allah Ta‘ala,

وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

“Barang siapa kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, maka sungguh ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’: 136)

Ahlus Sunnah wal Jama‘ah beriman kepada malaikat secara umum dan secara rinci. Secara umum, mereka meyakini bahwa malaikat benar-benar ada. Sedangkan secara rinci, mereka beriman kepada malaikat yang disebutkan secara khusus dalam dalil yang sahih, yaitu yang disebutkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti:

  • Jibril ‘alaihis-salam: bertugas menyampaikan wahyu.
  • Mikail ‘alaihis-salam: bertugas mengatur turunnya hujan.
  • Israfil ‘alaihis-salam: bertugas meniup sangkakala.
  • Malaikat Maut: bertugas mencabut nyawa.
  • Malik: penjaga neraka.
  • Riḍwan: penjaga surga.
  • Munkar dan Nakir: dua malaikat yang bertugas menanyai manusia di alam kubur.

Ahlus Sunnah wal Jama‘ah meyakini keberadaan para malaikat, bahwa mereka adalah hamba-hamba Allah yang diciptakan, tidak memiliki sifat ketuhanan. Allah menciptakan mereka dari cahaya, dan mereka memiliki wujud yang nyata, bukan sekadar makna abstrak atau kekuatan gaib semata.

Mereka adalah makhluk ciptaan Allah, yang bertempat di langit, dan memiliki bentuk yang sangat agung.

Di antara mereka ada yang memiliki dua sayap, ada yang tiga, ada yang empat, dan ada yang lebih banyak dari itu. Terdapat dalam hadis yang sahih bahwa Jibril ‘alaihis-salam memiliki enam ratus sayap.

Para malaikat adalah pasukan Allah, dan mereka memiliki kemampuan untuk menjelma dalam berbagai bentuk fisik, sesuai dengan keadaan yang Allah izinkan. Mereka adalah makhluk yang dekat dan dimuliakan oleh Allah. Mereka tidak memiliki jenis kelamin, tidak menikah, dan tidak berketurunan. Para malaikat tidak makan dan tidak minum, karena makanan mereka adalah tasybih (memuji Allah) dan tahlil (mengucap laa ilaaha illallah).
Mereka tidak pernah merasa lelah, tidak bosan, dan tidak berhenti beribadah kepada Allah. Mereka juga dikenal memiliki sifat keindahan, kesempurnaan, rasa malu, serta keteraturan dalam ketaatan kepada Allah. [9]

Iman kepada kitab-kitab Allah

Makna iman kepada kitab-kitab Allah adalah:

1) Meyakini dengan pasti bahwa seluruh kitab itu diturunkan dari sisi Allah kepada rasul-rasul-Nya, untuk disampaikan kepada hamba-hamba-Nya dengan membawa kebenaran dan petunjuk.

2) Meyakini bahwa kitab-kitab itu adalah kalam (firman) Allah, bukan ucapan makhluk. Bahwa Allah benar-benar berbicara dengan kitab-kitab tersebut secara hakiki, sesuai dengan kehendak dan kebesaran-Nya, dengan cara yang Dia inginkan.

Di antara kitab-kitab itu, ada yang Allah sampaikan langsung tanpa perantara, dari balik tabir, dan ada pula yang Allah sampaikan melalui malaikat pembawa wahyu untuk kemudian disampaikan kepada rasul manusia.

Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ

“Tidaklah pantas bagi seorang manusia bahwa Allah berkata-kata kepadanya kecuali dengan wahyu, atau dari balik tabir, atau dengan mengutus seorang rasul (malaikat) lalu menyampaikan wahyu dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS. Asy-Syura: 51) [10]

Iman kepada rasul-rasul Allah

Makna iman kepada Rasul adalah sebagai berikut:

Pertama: Beriman bahwa Allah Ta‘ala telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul, yang menyeru mereka untuk menyembah Allah semata dan meninggalkan segala sesembahan selain-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul (yang menyeru), ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut (segala yang disembah selain Allah).’” (QS. An-Naḥl: 36)

Kedua: Beriman kepada para rasul yang disebutkan namanya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Mereka berjumlah dua puluh lima Nabi dan Rasul, semoga selawat dan salam Allah terlimpahkan atas mereka semuanya. Dan juga beriman kepada rasul-rasul lain yang tidak disebutkan namanya, sebagaimana firman Allah Ta‘ala,

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ

“Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (wahai Muhammad); di antara mereka ada yang telah Kami ceritakan kepadamu, dan di antara mereka ada pula yang tidak Kami ceritakan kepadamu.” (QS. Ghafir: 78)

Ketiga: Beriman bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi terakhir, tidak ada Nabi setelah beliau, sebagaimana firman Allah Ta‘ala,

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

“Muhammad itu bukanlah ayah dari salah seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup para Nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Aḥzāb: 40)

Keempat: Meyakini bahwa para rasul semuanya telah menyampaikan seluruh risalah yang Allah perintahkan kepada mereka. Mereka tidak menyembunyikan satu huruf pun, tidak mengubah isinya, tidak menambah dari diri mereka sendiri, dan tidak menguranginya sedikit pun. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala,

فَهَلْ عَلَى الرُّسُلِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

“Maka tidak ada kewajiban para rasul selain menyampaikan (risalah) dengan jelas.” (QS. An-Naḥl: 35) [11]

Iman kepada hari kiamat

Iman kepada hari akhir ialah meyakini dengan sepenuh keyakinan bahwa Allah telah menentukan satu waktu di mana Dia akan mengakhiri kehidupan dunia ini.

Ada pula yang menjelaskan secara lebih global, bahwa iman kepada hari akhir berarti: meyakini seluruh hal yang telah diberitakan oleh Allah Subḥānahu wa Ta‘ala dalam kitab-Nya, dan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis-hadisnya, tentang segala peristiwa yang terjadi setelah kematian, seperti: fitnah (ujian) dan azab kubur, kebangkitan (ba‘ts), pengumpulan manusia (ḥasyr), pembagian catatan amal (ṣuḥuf), perhitungan amal (ḥisab), timbangan amal (mizan), telaga Nabi (ḥauḍ), jembatan di atas neraka (ṣiraṭ), syafaat (pertolongan), surga, dan neraka, serta segala yang telah Allah sediakan bagi masing-masing penghuninya. [12]

Iman kepada qadha dan qadar, yang baik mapun yang buruk

Secara bahasa, kata “القضاء” (qadha’) memiliki makna yang berkisar pada menetapkan sesuatu dengan sempurna dan menyelesaikan urusan.

Dalam Al-Qur’an, kata qadha’ digunakan dalam banyak makna seperti: perintah, penyelesaian, keputusan, penetapan, pemberitahuan, pelaksanaan, dan juga kematian.

Sedangkan “القدر” (qadar) secara bahasa bermakna penetapan dan keputusan, juga bisa berarti kekuatan atau kemampuan, sebagaimana dalam firman Allah Ta‘ala,

لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ

“Tidak ada dosa atas kamu jika kamu menceraikan wanita yang belum kamu sentuh dan belum kamu tetapkan maharnya. Hendaklah kamu memberikan mut‘ah (pemberian) kepada mereka; bagi yang mampu menurut kemampuannya (qadruhu), dan bagi yang miskin menurut kemampuannya (qadruhu), sebagai pemberian yang patut, suatu kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 236)

Dari ayat ini, terlihat bahwa kata qadar juga bermakna tingkat kemampuan atau ukuran. Selain itu, qadar juga bisa berarti pembatasan atau penyempitan (tadhyiq).

Secara istilah (syar‘i), qadha’ dan qadar adalah: penetapan Allah Subḥānahu wa Ta‘ala terhadap segala sesuatu sejak zaman azali, serta ilmu-Nya yang meliputi bahwa semua itu akan terjadi pada waktu yang telah ditentukan, dengan sifat-sifat yang telah ditetapkan.

Allah telah menulisnya dalam Lauhul Mahfuz, menetapkan terjadinya sesuai kehendak-Nya, dan segala sesuatu terjadi sebagaimana yang telah Dia takdirkan dan ciptakan.

Ada pula ulama yang mendefinisikan: “Qadha dan qadar adalah penciptaan Allah terhadap segala sesuatu dengan ukuran dan ketentuan tertentu, pada bentuk dan keadaan sebagaimana yang telah diketahui-Nya sebelumnya, dan sebagaimana yang telah tertulis oleh pena (qalam).”[13]

Sedangkan ihsan adalah melaksanakan amalan dengan sebaik-baiknya secara lahir dan batin. Adapun secara lahir adalah dengan mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sesempurna mungkin. Dan secara batin adalah dengan sesempurna mungkin ikhlas karena Allah dalam beramal.

Ihsan lebih khusus daripada iman, dan iman lebih khusus daripada Islam. Maka inilah tiga perkara agama: Islam, iman, dan ihsan. [14]

Hari kiamat dan tandanya

Bahwasannya tidak ada satu pun makhluk di muka bumi ini yang mengetahui kapan kiamat itu ditegakkan. Bahkan, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Jibril ‘alaihissalam yang merupakan manusia dan malaikat terbaik di sisi Allah ‘Azza wa Jalla tidak mengetahui kapan terjadinya hari kiamat. Di antara tanda-tanda kiamat yang disebutkan di dalam hadis adalah terbaliknya urusan atau perkara, yakni berubahnya keadaan dari yang seharusnya dan bermegah-megahan (berbangga diri) dalam mempertinggi bangunan, yaitu berlomba-lomba membangun gedung tinggi untuk kebanggaan, bukan kebutuhan. [15]

و الله تعالى أعلم بالصواب

Kembali ke bagian 2

***

Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya.

[2] Syarh Al-Arba’in An Nawawiyah Al-Mukhtasor, hal. 21-22.

[3] Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 75.

[4] Fathul Bari’, 1: 166.

[5] Syarh Al-‘Arba’in An-Nawawiyah, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 77.

[6] Al-Wajiz Al-Mukhtashor fii Syarh Al-‘Arba’in An-Nawawiyah, hal. 4.

[7] Syarh Al -Arba’in An-Nawawiyah, karya Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syekh, hal. 181-182.

[8] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/102420/

[9] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/66304/

[10] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/83775/

[11] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/113508/

[12] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/69249/

[13] Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web alukah.net/sharia/0/69562/

[14] Ibid, hal. 192 diringkas oleh penulis.

[15] Op. cit, hal. 4.


Artikel asli: https://muslim.or.id/110266-penjelasan-hadis-arbain-an-nawawiyah-bag-3.html